Should I Be An American Soldier?

Memang akhir – akhir ini selain daripada ramainya berita tentang ISIS, demo mahasiswa terhadap pemerintah sekarang, serta isu – isu lain yang juga ramai jadi bahan perbincangan di media sosial adalah tentang seorang perempuan asal Indonesia yang jadi militer di Amerika Serikat –US Army-.

Nah, bagaimana menurut saya? Militer Amerika Serikat memberikan kesan sebuah militer yang besar di dunia –negara adikuasa memang- , teknologi yang canggih, tim yang solid, seragam militer yang mentereng, gear, vehicle yang juga keren. “Pokoknya super” begitu mungkin ungkapannya.

Bagi siapapun yang mengamati dan memerhatikan perkembangan serta seluk beluk militer Amerika Serikat semua akan berdecak kagum tentang segala sesuatunya, bisa jadi seperti decak kagum orang – orang jaman perang dunia 2 –meskipun orang jaman sekarang pun masih berdecak kagum- pada militer Jerman. Kalau menurut saya sih, militer Amerika Serikat berada dalam posisi seperti militer Jerman pada masa perang dunia 2, menampilkan sesuatu yang “wah”. Dan banyak warna luar Jerman yang bergabung dengan militer Jerman, termasuk Indonesia.

Militer Amerika Serikat memiliki tentara yang berada diluar negaranya dengan jumlah yang cukup banyak. Sebagai negara yang sering ikut serta dalam perang di dunia tidak mengherankan kalau militer Amerika Serikat begitu gencar “meng-update” kemiliterannya.

Orang – orang di Indonesia pun banyak sekali menurut saya yang cukup tergiur melihat menterengnya militer Amerika Serikat. Dari sekedar suka saja dan kesukaannya itu di ekspresikan dengan menggunakan simbol militer Amerika Serikat sampai ada yang masuk ke club Airsoft untuk lebih merasakan impresinya. Atau yang lebih ekstrim lagi mendaftar jadi militer Amerika Serikat dengan menggunakan green card –karena untuk jadi militer Amerika berarti jadi warga sana dulu- yang sering ditawarkan oleh negeri paman sam itu.

Sebelum cerita tentang seseorang yang juga mantan mis Indonesia itu bergabung dengan militer Amerika Serikat ramai dibicarakan, sebenarnya ada juga warga Indonesia yang juga menjadi militer Amerika Serikat. Beberapa diantaranya yang saya tahu adalah seseorang yang tergabung di US NAVY bertugas di kapal rumah sakit USNS Mercy, dan sesorang yang menjadi kapten di US Air Force.

Dan dalam pikiran saya yang kadang sedang nyeleh pun ada pikiran, haruskah saya juga bergabung dengan seperti mereka? Tapi pikiran itu sekejap hilang, hilang karena Bahasa Indonesia. Saya bisanya bahasa Indonesia, gak bisa bahasa Inggris. 😀 . Kali ini bahasa Indonesia menyelamatkan saya dari pikiran yang nyeleneh. Bisa jadi kalau bahasa Inggris saya lancar saya sudah meluncur ke paman sam dan di kirim ke Irak atau ke Afganistan atau juga ke Suriah melawan ISIS.

Tapi pikirin itu sudah – sudahlah, pergi – pergilah. Tentara negara Indonesia pun keren, namun saya saja yang jarang memerhatikan aksinya. Saya orang Indonesia tulen, dan akan tetap jadi orang Indonesia. Merdeka 😀

Dokumentasi perjalanan, menulis atau shutter camera?

Jalan – jalan terasa hambar kalau tidak didokumentasikan. Berbicara tentang dokumentasi, dokumentasi banyak macamnya. Kalau yang suka menulis, salah satu bentuk dokumentasi perjalannya mungkin dengan menulis seputar perjalanan atau petualangannya. Nah, bagaimana dengan yang kurang suka dengan menulis, atau menganggap dokumentasi dengan menulis terlalu merepotkan?

Bagi sebagian orang mungkin menulis tentang suatu perjalan memang merepotkan. Alternatif dari dokumentasi sebuah perjalanan/atau petualangan selain menulis adalah dengan gambar.

Jika sewaktu abad ke 18 ke belakang para ekspeditor atau para petualang biasanya mengambil gambar dengan melukis objek menarik yang ditemukan diperjalanan. Namun yang dilukis tidak seluruhnya, hanya sketsa yang memuat garis besar, selanjutnya gambar disempurnakan kalau perjalanan/petualangan selesai –gak kebayang kalau gambarnya diselesaikan disetiap tempat menarik yang ditemukan-. Karena pada waktu itu kepemilikan kamera cukup terbatas. Kamera masih tergolong barang langka, dan mungkin bisa jadi merupakan barang yang mewah. Kalau misalkan ada kamera pun pengoperasiannya cukup merepotkan –bayangkan cara pengoperasikan kamera jaman dulu- kalau sekarang menulis yang dianggap cukup merepotkan.

Melukis objek menarik yang ditemukan diperjalanan bukan alternatif yang saya tawarkan, kecuali kalau sang ekspeditor memang seorang pelukis. Alternatif yang saya tawarkan adalah melukis gambar dengan shutter kamera.

Kamera. Kamera terasa menjadi hal yang lumrah saat ini. Mulai dari kamera Profesional, prosumer, GoPro, sampai kamera yang terpasang di HP. Saat ini mudah sekali mendokumentasikan perjalanan dengan kamera. Dengan semakin banyaknya dan senangnya –narsis- para ekspeditor maupun yang sekedar iseng mendokumentasikan perjalanan dan momen, seorang yang bernama Anindito Respati Giyardani me-matenkan tongsing yang mendunia. Semakin sempurna sajalah bagi para ekspeditor untuk mendokumentasikan perjalannya atau sekedar narsis8*.

Jadi, pilih menulis atau narsis*? 😀

 

Gallery

Seine Oh Seine

Nah, kemarin – kemarin saya sudah janji untuk melanjutkan cerita nge-bolang ke Jakarta alias ke Kota Tua. Hampir lupa sampai mana kemarin dulu saya bercerita.

“Akan dilanjutkan bagaimana saya melewati sungai yang dulu mungkin dianggap akan Indah seperti sungai Sein di Perancis, dan melihat bagaimana Bank yang sepi nasabah karena memang sudah menjadi Ex – Chartered Bank serta melihat Kampus Akademi Marinir yang kehabisan para kadet”

Sedikit penggalan cerita di atas itu bisa mengingatkan sampai mana saya ngdongeng. Ya, Sungai Sein, yang ada di Jakarta. Memang tidak pernah ada sungai Sein di Jakarta. Saya sebutkan sungai Sein hanya untuk menghibur saya terhadap sungai yang membelah kawasan Kota Tua, antara komplek Fatahilah dan Toko Merah, layaknya Sungai Seine membelah kota Paris dengan bayangan menara Eifel di aliran airnya, ya Kali Besar-sungai Seine versi Jakarta dengan segala isinya.

Mungkin dulu orang Belanda membayangkan bahwa Kali Besar akan layaknya Seine di Perancis atau setidaknya seperti kebanyakan kanal di negerinya-Belanda. Nah lanjut ke cerita semula, jalan – jalan singkat yang membuat saya tidak sampai menjelajah kawasan Kota Tua dengan puas. Sempat saya melewati yang masih kokoh berdiri yang saya baca dari “leaflet Kota Tua Jakarta” adalah gedung Ex Chartered Bank. Dengan kubah di atasnya jelas sekali bangunan ini merupakan banguan klasik yang masih dipertahankan keasliannya.

Gedung Ex – Chartered Bank dibangun awal abad 20 dan sejak awal pembangunannya memang digunakan sebagai Chartered Bank of India, Australia, dan China. Dari Informasi yang saya dapat, saat ini gedung Ex – Chartered Bank ini kosong dan dimiliki oleh Bank Mandiri.

Dan Kali Besar yang saya sebut sebagai Seine versi Jakarta itu berada dekat Gedung Ex – Chartered Bank. Jadi kalau dibayangkan Kali Besar saat ini bisa dilewati oleh perahu, atau gondola seperti di Venesia. Bisa kita lihatlah dari permukaan airnya De Rivier, Toko Merah dan Ex – Chartered ini di sepanjang jalur Kali Besar.

Dan berbicara mengenai Chartered Bank saya jadi teringat jersey salah satu klub bola asal Inggris yang pernah di sponsori oleh Standard Chartered Bank. Nah apakah Standard Chartered Bank ada kaitannya dengan Chartered Bank? Nantikan penulusurannya. Sejarah memang nyambung dan menyambungkan 😀

 

 

 

Ngebolang ke Ibukota

P_20141228_093834

Nah kemarin – kemarin saya pernah bilang mau mengulas beberapa foto yang saya publish. Karena lumayan cukup banyak foto yang saya publish –sebenernya tiga sih-, saya akan mengulasnya satu persatu dalam postingan yang berbeda, karena memang tiap foto mempunyai cerita masing – masing. Nah sebelum saya mengulas foto, terlebih dahulu saya jelaskan asal usul foto yang akan saya ulas.

Beberapa waktu lalu saya melakukan lawatan ke daerah ibukota. Jakarta, ibu kota Indonesia. Pandangan orang terhadap kota tersibuk di Indonesia ini bermacam macam ternyata. Mulai dari banyaknya tempat – tempat nongkrong semacam mall, Monas, Istana Presiden, sampah, banjir, kemacetan , busway, bis tingkat, dan masih banyak yang lainnya, sampai tukang obral baju murah di senen.

Namun yang menjadi destinasi lawatan saya waktu lalu bukan yang disebutkan di atas -meskipun sebenarnya saya beberapa kali naik busway-, tapi salah satu gravitasi lain di Jakarta, Kota Tua.

Buru – buru saya menyambar peta Jakarta ketika turun dari kamar hotel. Sambil sarapan saya bolak balik itu peta. Setidaknya saya punya rencana perjalanan yang jelas dengan beberapa tujuan tempat yang akan saya kunjungi.

Dari Blok M dengan transjakarta menuju Kota Tua. Nah sebelum masuk halte saya agak terkejut karena ternyata sudah tidak diberlakukan lagi tiket sobek tranjakarta satu kali pakai, alhasil saya beli tiket elektronik. Meskipun harganya lebih mahal dari tiket elektronik, tapi lumayan lah bisa digunakan untuk beberapa kali naik transjakarta, dan bisa isi ulang juga. Lumayan kalau nanti saya jalan –jalan lagi ke Ibukota, yang jelas tiket elektronik praktis.

Di sepanjang jalur Transjakarta Blok M – Kota Tua, sebenernya banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi. Bebarapa diantaranya, Tugu Monas, Museum Nasional –perlu dibedakan antara Monumen Nasionan dengan Museum Nasional-, Museum Taman Prasasti, Dan Gedung Arsip Nasional. Tapi sayang sekali rata – rata jam buka museumnya sampai dengan pukul 16.00, sedangkan saya berangkat dari Blok M setelah Ashar. Ya berharap bisa menyusun rencana perjalanan lagi ke Ibukota lain waktu.

Akhirnya hanya satu tempat yang dituju, Kota Tua. Meskipun hanya Kota Tua, tidak akan cukup waktu berminggu – minggu bagi saya untuk mengagumi deretan bangunan tua yang tersebesar. Beberapa jam saja tidak cukup untuk menikmati suasana di Kota Tua, atau sekedar membayangkan susananya di masa lalu.

Dari bahan yang saya dapatkan dari salah satu petugas Jemabatan Kota Intan –masih merupakan kawasan Kota Tua-, bahwa Kota Tua saat ini di bagi menjadi 5 zona. Nah zona – zona tersebut anatara lain, Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya, Kawasan Pusat Kota Lama atau yang lebih dikenal dengan Taman Fatahillah, Kawasan Pecinan, Kawasan Perkampungan Multi Etnis, Kawasan Pusat Bisnis Kota Tua.

Dengan sempitnya waktu yang tersedia –karena jam 22.00 saya harus kemali ke kota Cipanas – Cianjur, kota kelahiran tercinta- tidak semua zona saya keililingi. Hanya beberapa tempat saja yang akhirnya bisa disambangi. Dan tentunya berjalan kaki lebih menyenangkan, disamping penghematan :D.

Beberapa zona saja yang saya kunjungi, meskipun saya tidak tahu persis zona mana – mana lebih tepatnya. Namun beberapa tempat cukup menjadi acuan perjalanan kali ini. Karena lebih mudah mengenal gedung atau nama tempat daripada sebuah zona.

Setibanya di halte terakhir –Halte Kota Tua- saya disuguhi dengan berbagai pandangan yang menakjubkan bagi saya sebagai manusia sejarah -perlu diingat, manusia sejarah, buhkan ahli sejarah, hanya sebagai pengagum dan pencari sejarah-. Beberapa diantaranya bangunan yang memberikan sambutan adalah Museum Bank Mandiri, lagi – lagi karena sudah sore saya gagal untuk mengapresiasi berbagai benda – benda bersejarah di dalamnya, ya anggap saja cukup dengan melihat gedungnya dari luar saja untuk kesempatan kali ini. Beberapa Blok dari Museum Bank Mandiri berdiri kokoh banguan yang mengingatkan saya pada sebuah gedung di Amerika Serikat yang saya sendiri lupa nama gedungnya, belakang baru saya ingat –Lincoln Memorial-. Ya, gedung itu namanya Museum Bank Indonesia yang semula mengingatkan saya pada Lincoln Memorial, padahal beda banget.

Yah sampai di sini dulu pemirsah saya bercerita, kalau kepanjangan khawatir sodara juga bosan bacanya. Akan dilanjutkan bagaimana saya melewati sungai yang dulu mungkin dianggap akan Indah seperti sungai Sein di Perancis, dan melihat bagaimana Bank yang sepi nasabah karena memang sudah menjadi Ex – Chartered Bank serta melihat Kampus Akademi Marinir yang kehabisan para kadet. Selamat menanti 😀

No Post

Beberapa waktu lalu terhalang untuk posting. Bukan karena sibuk atau tidak  ada inspirasi, tapi karena efisiensi. Ya, E F I S I E N S I. Karena tidak ada wifi gratis di sekitar tempat saya nongkrong dan mantengin ini si blog, akhirnya harus mengeluarkan kocek pribadi. Yah , memang nge – blog itu harus bermodal kali ya.

Dengan dalih E F I S I E N S I sebagai penghematan pengeluaran -katanya- bulan ini baru bisa kembali meronggoh kocek buat beli paket internet. Bulan kemarin keuangan bobol gara – gara dalam satu bulan sampai lebih dari 2 kali beli paket internet, entah apa masalahnya bisa boros seperti itu. Nah sekarang saya pakai kembali si modem yang sulu sering menemani saya nge-post tugas. Ya semoga saja dengan ini paket internet bisa lebih hemat. Karena memang bulan kemarin paket internetnya saya menggunakan wifi hotspot dari smartphone -itu kali yang bikin boros-.

Nah sekarang semoga bisa posting hal yang bermanfaat -bukan nyampah-  dengan terarur di duni maya. Happy posting 😀

Image

Toko Merah

Dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaaf Willem Baron Van Imhoff. Dilihat dari penggagas pembangunannya masih ada hubungungan dengan Istana Kepresiden Cipanas dan Istana Keperesidenan Bogor serta Gedung Pos Indonesia yang pertama, Tahun 1743-1755 pernah digunakan sebagai asrama dan kamus Academie de Marine, dan sekarang gedung ini masih kokoh berdiri menjadi saksi pasang surut kehidupan di Batavia, tepatnya pasang surut tepi barat kali besar Ciliwung – de Groote River.